Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (di bawah Muktamar Islam) tentang KPR dan Peran Pemerintah
(Majalah Al-Majma’ Muktamar VI, volume 1, hlm. 81).
Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islami menyelenggarakan Muktamar ke-6 di Jedah KSA, tanggal 17 – 23 Sya’ban 1410 H, bertepatan dengan 14 – 20 Maret 1990 M.
Setelah mempelajari kajian yang diajukan kepada Al-Majma’ serta memperhatikan diskusi yang berlangsung terkait masalah KPR, Majma’ Al-Fiqh Al-Islami memutuskan,
Pertama, Tempat tinggal termasuk kebutuhan primer setiap manusia, sehingga harus dipenuhi dengan cara yang disyariatkan, dari harta yang halal. Sementara metode yang diterapkan oleh bank-bank penyedia jasa KPR tanah dan rumah atau semacamnya, dengan mengucurkan dana pinjaman disertai bunga, baik kecil maupun besar, merupakan cara yang haram secara syariat karena termasuk praktek riba.
Kedua, terdapat beberapa cara yang diperbolehkan secara syariat, untuk menggantikan cara yang terlarang dalam memenuhi kebutuhan papan masyarakat, diantaranya:
1. Pemerintah menyediakan kepada setiap warga yang membutuhkan kediaman untuk memiliki tempat tinggal dengan pinjaman khusus untuk membangun rumah. Bisa menggunakan skema kredit lunak tanpa bunga. Baik bunga yang sangat jelas (berdasarkan prosentase pinjaman) atau yang disamarkan dengan kedok biaya administrasi (yang tidak wajar). Hanya saja jika dibutuhkan untuk mendapatkan dana dalam rangka memenuhi target utang, maka harus dibatasi sesuai biaya yang riil untuk mengucurkan dana utang.
2. Negara yang maju membuatkan tempat tinggal dan menjualnya kepada masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal dengan pembayaran tertunda, berdasarkan batasan yang sesuai syariat.
3. Para penanam modal baik individu maupun perusahaan mengembangkan perumahan, kemudian dijual secara kredit.
4. Skema transaksi jual beli rumah bisa menggunakan akad istishna’ – jika dianggap sebagai satu keharusan – sehingga memungkinkan bagi konsumen untuk membeli rumah itu sebelum dibangun. Tentu saja setelah ada penjelasan dan rincian tentang bangunan, sehingga tidak memicu kesalah-pahaman. Dan dibolehkan tanpa harus membayar tunai, namun boleh dibayar secara kredit sesuai kesepakatan.
Tidak lupa harus memenuhi semua syarat dan ketentuan yang berlaku untuk akad ishtishna’, sebagaimana yang dijelaskan ulama. Dan akad istishna’ berbeda dengan akad salam.
Sumber: http://www.fiqhacademy.org.sa/qrarat/6-1.htm
Allahu a’lam.
Artikel www.PengusahaMuslim.com